Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hingga Dipelebon, Kematian Mantan Gubernur Itu Tetap Misterius

Akhir perjalanan hidup Anak Agung Bagus Sutedja mungkin memang ditakdirkan penuh misteri. Sutedja, yang menjabat sebagai Gubernur Bali sejak 1958 ini mendadak menghilang pada tanggal 29 Juli 1966 pasca tragedi berdarah 1965.

HILANGNYA, putra Jembrana yang hingga sekarang merupakan satu-satunya yang pernah menjabat sebagai gubernur ini menimbulkan banyak spekulasi. Ada yang menilai, Sutedja tewas akibat dari konspirasi politik, namun ada juga yang menafsir ia pergi ke luar negeri karena dikait-kaitkan dengan tragedi berdarah 1965. Apa pun persepsi yang beredar di masyarakat, yang jelas Sutedja telah mengukirkan dirinya dalam sejarah. Apalagi hitam putihnya sejarah kita masih banyak dipengaruhi siapa atau golongan mana yang sedang berkuasa. Hingga sekarang, harus diakui belum ada putra Jembrana yang bisa menyamai karir politik Sutedja hingga menjabat sebagai Gubernur Bali. 

Pada masa-masa 1950-an, Sutedja dikenal dekat dengan mantan Presiden RI Soekarno. Kepada wartawan Anak Agung Istri Ngurah Sunitri (82), istri dari Sutedja, mengatakan, suami dan dirinya sering mendampingi Soekarno saat berkunjung ke Istana Tampaksiring dalam kegiatan kedinasan. “Pada tahun 1965-an Pak Soekarno sering berkunjung ke Istana Tampaksiring,” katanya. Saat datang ke istana ini, Soekarno sering mengajak Megawati. Menurut Sunitri, dirinya kerap diajak Winoto yang menjabat Kepala Rumah Tangga Kepresidenan kala itu untuk menemani Megawati.

Kenangannya saat itu adalah ia suka mengajak Mega ke pantai. Sifat dari Megawati yang hingga kini melekat dalam kenangannya adalah, meski anak presiden, ia tidak berlaku sombong. “Saya rasa sikap itu karena didikan dari ayahnya. Bung Karno sering bilang ke anak-anaknya, bahwa yang presiden itu dia, sementara anak-anaknya hanyalah orang-orang biasa,” ujar wanita yang tampak tabah selama upacara pelebon suaminya, Minggu (23/7) kemarin. 

Hubungan antara Sutedja sekeluarga dengan Winoto makin dipererat lewat pernikahan anak ke-6 Sutedja yaitu AA Surakusuma dengan putri Winoto yang bernama Raden Roro Tutik. Sunitri mengaku, dirinya bertemu terakhir kali dengan Megawati pada tahun 1965. “Saya memang pernah mendapatkan undangan darinya (Megawati–red), tapi tidak bisa hadir karena fisik saya sudah lemah, namun kami tetap mengirimkan perwakilan untuk menghadiri undangan tersebut,” jelasnya.

Saat menjabat presiden, sebenarnya Megawati sudah 2 kali merencanakan untuk berkunjung ke Puri Negara. “Tapi karena acaranya sangat padat sehingga keinginan tersebut belum terwujud,” tambah Sunitri. Sunitri dan keluarga Puri Negara lainnya berharap Megawati bisa datang dalam rangkaian upacara pelepon AA Bagus Sutedja.

Menurut AA Gede Agung, putra sulung dari Sutedja, pihaknya sudah melakukan konfirmasi langsung ke Megawati. Sunitri sendiri hanya ingin melihat langsung wajah Megawati untuk mengenang masa lalu dimana ia sering mengajak bermain mantan Presiden RI ini.


Misteri
Sementara Sunitri dan keluarga Puri Negara lainnya berharap kehadiran Megawati, misteri masih tetap menyelimuti AA Bagus Sutedja. Walaupun sudah dipelebon yang artinya sudah diakui meninggal dunia, penyebab kematiannya belum bisa diungkapkan dengan jelas. Spekulasi terbesar yang beredar, Sutedja turut menjadi korban ‘pembersihan’ pasca G30S PKI karena dianggap dekat dengan Bung Karno. Dari kalangan yang tua-tua yang pernah merasakan pemerintahan Sutedja hanya kenangan yang bisa dilontarkan.

Beberapa kalangana menilai, Sutedja kala itu cukup bagus dalam memimpin Bali. Di masanya, kondisi politik Indonesia memang sedang memanas. Di Bali saat itu ada 2 partai besar yaitu PKI dan PNI. Menurut Sunitri, terhadap parpol ini suaminya berusaha tidak memihak ke mana pun. “Ia hanya berpihak kepada rakyat,” tuturnya. 

Sebagai Gubernur Bali, ia diminta untuk tenang oleh Bung Karno pasca tragedi 1965. Tapi, 2 Desember 1965, Puri Negara mulai diusik dengan perusakan yang dilakukan ratusan massa. Menurut Gede Agung, dirinya mendengar perusakan tersebut dilakukan dengan tuduhan keluarganya terlibat G30S PKI. Mendapatkan kabar ini Bung Karno segera memanggil Sutedja ke Jakarta, 3 Desember 1965. “Hingga bapak menghilang pada tanggal 29 Juli 1966, ia masih di Jakarta dan tinggal di Komplek Senayan Nomer 261/262,” ujar Gede Agung.

Dikisahkan oleh Gede Agung, 29 Juli tersebut sekitar pukul 09.00 ayahnya dijemput 4 orang berseragam militer dengan menggunakan mobil Nissan. Sutedja diminta datang ke SKOGAR di Merdeka Barat. Menurut Gede Agung, tanpa kecurigaan sedikit pun ayahnya memenuhi panggilan ini. Saat sore menjelang tanpa ada kabar, membuat ibunya gelisah dan mendatangi markas SKOGAR. Di sini ia mendapatkan jawaban, tidak ada yang menjemput atau memerintahkan Sutedja untuk datang ke SKOGAR.
Mendapati jawaban ini, Sunitri langsung melapor ke Mendagri. Proses pencarian yang dilakukan sia-sia. Nasib Sutedja tidak jelas diketahui. Pencarian yang dilakukan keluarga Puri Negara terus berlanjut dari hilangnya sampai masa pemerintahan Soeharto hingga Megawati. Pencarian panjang ini akhirnya ditutup dengan upacara pelebon. Upacara ini dilakukan setelah keluarga puri mendapatkan pawisik.
* Gembong Ismadi

Posting Komentar untuk "Hingga Dipelebon, Kematian Mantan Gubernur Itu Tetap Misterius"